Untuk mengimplementasikan konsep Tripartit Tata Kelola Air Irigasi tersebut, Tim Kementan bersama-sama perwakilan dari Kemen LHK dan Kemen PUPR, serta Dinas Pertanian dari Pemda setempat (Bogor, Sumedang, Cirebon dan Indramayu) telah menyelenggarakan Fokus Group Diskusi (FGD) tentang tatakelola infrastruktur bertemakan “Efisiensi Air Irigasi Bagi Pertanian Berkelanjutan”.
Staf Ahli Menteri Pertanian bidang Infrastruktur, Ani Andayani menuturkan FGD ini bertujuan untuk membahas sumber air irigasi asal waduk Jatigede yang sudah mulai operasional. Kemudian, memastikan pengalirannya melalui bendung Rentang yang terdistribusi untuk sungai Cimanuk dan pengelolaan saluran irigasi lainnya bagi Kabupaten Indramayu dan Cirebon sehingga termanfaatkan oleh petani padi sawah.
“Diskusi ini pun memaparkan hasil studi model ketersediaan air melalui sumur dangkal dengan geolistrik di Desa Rancahan, Kecamatan Gabus Wetan, Kabupaten Indramayu,” kata Ani dalam diskusi yang dihelat di Bogor.
Menurut Tenaga Ahli Menteri Pertanian bidang Infrastruktur, Budi Indra Setiawan, lokasi ini merupakan ekor dari pemanfaatan sumber air suplemen di Indramayu yang setiap tahunnya selalu dilanda kekeringan terutama pada tahun 2015 kekeringannya lebih parah lagi karena bersamaan dengan El-Nino, di mana musim kemarau tercatat lebih dari 350 hari (El Nino di tahun 1997 hanya 268 hari). Budidaya padi hanya dapat dilakukan pada musim hujan. Walaupun terbentang saluran sekunder tetapi air irigasinya ternyata tidak pernah sampai.
“Pada musim hujan pun saluran tersebut hanya terisi atau berfungsi sebagai tampungan air hujan saja. Bila hujan tidak turun beberapa hari saja dapat mendatangkan cekaman air,” ujar Budi.
Menurut Budi, setelah ada sumur dangkal walau terjadi keterlambatan 2 bulan, musim hujan (MT-1) telah dilalui dengan baik dan menghasilkan panen raya. Persiapan menjelang MT-2 sedang dilaksanakan dengan harapan dapat dicapai IP 200 (dari semula hanya kurang dari IP 100), khususnya dengan bantuan irigasi air tanah tersebut sebagai langkah antisipasi kekurangan air hujan.
“Pola irigasi terputus-putus akan diterapkan dengan sasaran kadar air tanah berada di sekitar kapasitas lapang,” tambah Budi.
Keterpaduan melalui beberapa langkah selama ini telah mulai diterapkan meskipun belum saling memahami sebelumnya. Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk Cisanggarung, Kemen PUPR, Widianto mengatakan karena mempertimbangkan agar air irigasi dari waduk Jatigede tetap dapat sampai ke petani padi sawah, Kemen PUPR melaksanakan kegiatan konstruksi talud jaringan irigasi dengan air sungai tetap mengalir.
“Dengan cara ini meskipun harus dengan teknologi tertentu, biaya lebih mahal dan waktu lebih lama dibandingkan dengan cara menutup total,” kata Widianto.
Untuk itu, guna mewujudkan keterpaduan antara Kemen LHK, Kementerian PUPR, dan Kementan dalam pengelolaan air irigasi yang efisien dan berkelanjutan, Kemen PUPR sebaiknya menyusun Master Plan (MP) irigasi secara rinci, lengkap dan utuh mulai dari primer, sekunder hingga ke tersier atau bahkan sampai ke kuarter. Adapun dalam pelaksanaan pembangunannya, Kementan dapat terlibat dalam pembangunan irigasi tersier/kuarter bersama masyarakat dengan selalu mengacu pada MP tersebut.
“Adapun di wilayah hulu, Kementerian LHK bersinergi dengan kementerian PUPR untuk menjadikan daerah tangkapan air, misalnya dalam bentuk Green Belt atau bangunan penahan air atau erosi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat untuk menjamin kelestarian alam sesuai dengan acuan UU-No.37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air,” terang Ani.
Inovasi teknologi budidaya pertanian yang hemat air perlu segera diimplementasikan secara masif tetapi selektif langsung di lahan petani. Badan Litbang Kementerian Pertanian serta Badan Litbang Kementerian PUPR masing-masing telah banyak mengembangkan teknologi budidaya pertanian hemat air.
“Kini sudah waktunya bersinergi menerapkannya langsung di lahan dan bersama petani. Sebaiknya, penelitian-penelitian terapan yang selama ini dilakukan tertutup di kebun-kebun percobaan milik Kementan atau Kemen PUPR, sudah saatnya bisa dilakukan langsung di lahan-lahan petani yang akan menjadi sasaran dalam bentuk kegiatan bersama yang melibatkan langsung petani, peneliti, penyuluh, P3A, dinas pertanian serta dinas terkait dari Kementerian PUPR,” tutur Ani.
Dengan demikian, kata Ani, diseminasinya akan lebih cepat dan para pemangku kepentingan mengetahui proses bagaimana suatu teknologi diperoleh termasuk keunggulan dan kelemahannya sehingga mereka juga berkepentingan dan tertarik dalam mengembangkannya lebih lanjut.
Sementara itu, Budi menegaskan, mengingat pengalaman dan kompetensi PUPR selama ini, sebaiknya PUPR dan Kementan bersinergi membuat peta jaringan irigasi dalam setiap daerah irigasi secara menyeluruh sampai ke tersier termasuk bentuk dan spesifikasi salurannya berdasarkan pada kebutuhan air tanaman dan ketersediaan air dari berbagai sumber. Dalam peta tersebut dimasukkan pula lokasi-lokasi strategis untuk bangunan penangkap air hujan atau limpasan air irigasi termasuk air tanah yang berpotensi untuk dimanfaatkan.
“Adanya bantuan modelling pemboran air tanah dangkal merupakan penyediaan air irigasi suplemen di saat air irigasi dari waduk atau bendung di daerah irigasi tertentu dikarenakan sesuatu hal kemudian tidak sampai atau tidak cukup bagi budidaya padi sawah di lokasi ujung atau lahan kering lainnya,” pungkas Budi.
(adv/adv)